Masyarakat Sehat, Bukan Sekedar Impian

Sabtu tanggal 29 februari lalu, bersama 18 alumni ppsdms yang lain, saya berkesempatan untuk ikut dalam acara diskusi rutin alumni di gedung kantor pusat ppsdms di bilangan Jakarta selatan. Kali ini tema yang dibahas ialah tentang kesehatan. Hadir sebagai pembicara ibu tyas dari fkm-ui, dan ibu meli-dokter yang saat ini staff kementrian di depkes untuk masalah communicable desease.
Saya akan mulai dari bu tyas.
Dosen yang sekarang ini masih melakukan riset s3 ini ternyata ibu dari adik kelas saya di sd-smp it nurul fikri, sma n 1 depok, dan di ipb. Jadi, ternyata beliau mengenal saya dari jaman saya masih kecil sampai sekarang. Mantap kan.. 
Sebagai bahan diskusi, beliau memaparkan berbagai hal terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai kesehatan dari sisi ekonomi dan politik. Beliau mengawali dengan lingkaran setan antara sakit dan miskin. Penduduk Indonesia masih banyak yang miskin, dan ketika mereka sakit, mereka akan menjadi tambah miskin. Dan saat mereka makin miskin, kesehatan mereka akan terus memburuk dan menjadi lebih sakit dari sebelumnya..begitu terus bagai lingkaran setan yang mengerikan.
Indonesia memang Negara yang indah dengan berbagai kekayaan alamnya. Tapi ternyata keindahan tersebut tidak dibarengi dengan indahnya tingkat kesehatan masyarakat negeri ini. Beliau banyak bercerita berbagai kasus gizi buruk di tanah air, berbagai kebijakan public khususnya di provinsi dki Jakarta yang hanya mengalokasikan 3.8% budget kesehatan dari 6.1% apbd untuk kesehatan yang menyentuh langsung masyarakat. Sisanya dana dimanfaatkan untuk kebutuhan yang tidak secara langsung bermanfaat bagi masyarakat. Di sisi lain, anggaran kesehatan untuk gubernur dan wakil gubernurnya 510 kali lipat lebih besar dari dana kesehatan yang diperuntukkan untuk tiap warga dki Jakarta. Sungguh sangat ironis bukan?
Belum lagi bicara rasio dokter dengan penduduk yang masih timpang jauh sekali dari target nasional. Privatisasi rumah sakit umum daerah, asuransi kesehatan, dan lain sebagainya.
Memang bukan pekerjaan mudah dalam membangun sector ini. Tetapi masih ada harapan untuk menjadi lebih baik. Dan beliau sangat berharap kepada kita semua agar bisa membuat berbagai perubahan itu. Terakhir dia mengkomparasi antara kita dan Bhutan. Di Bhutan, meskipun gnp mereka lebih rendah dari Indonesia, tetapi Bhutan ialah Negara yang bersahaja. Rakyatnya sehat dan sejahtera. Tidak ada yang miskin sekali dan kaya sekali. 99% mahasiswa yang belajar ke luar Bhutan kembali lagi ke Negara mereka dan membangun Bhutan. Semua orang disan juga menggunakan handphone dan internet. Bahkan ada semboyan mereka yang terkenal gross national happiness is more important than gross national product. Kehidupan mereka sederhana namun tetap sehat dan cerdas. Kehidupannya pun didominasi oleh akar tradisi, budaya, dan agama yang sangat kuat. Seharusnya, Indonesia bisa lebih baik dan lebih hebat dari Bhutan. Semoga.

Kemudian, sekarang giliran ibu carmelia bicara.
Nenek dari 2 cucu ini adalah dokter lulusan salah satu perguruan tinggi ternama. Di awal karir beliau sebagai dokter, sekitar 35 tahun yang lalu, beliau berkesempatan bertugas di salah satu puskesmas terpencil daerah sumatera. Lokasinya 1 hari 1 malam dengan perahu menyusur sungai dari kota kabupaten. Dan 2 hari 1 malam untuk ke ibukota propinsi. Sungainya jangan dibayangkan seperti sungai ciliwung sekarang. Tapi sungai yang kalau kamu berdiri di satu tepi dan tepi lainnya, kita tidak akan saling melihat. Saking lebarnya. Rumah beliau juga dirimbuni dengan berbagai pohon yang kalau 7 orang memeluknya, itu baru bisa dipeluk. Di rumah yang disediakan, bu meli memelihara sendiri ayam, menanam sayuran untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarganya. Luar biasa.
Di puskesmas yang dulu ditempatinya itu, ia hanya dibantu oleh 4 orang yang bahkan sd pun tak tamat. Dan mau tahu, ternyata setelah 7 tahun puskesmas itu berdiri, baru kali ini ada dokternya.
Nah pada kesempatan tersebut beliau menyampaikan berbagai hal menarik yang saying kalau tidak saya share dengan anda semua.
Terkait kematian ibu yang cukup tinggi di Indonesia. Hal ini menurut dia disebabkan karena kultur ibu di Indonesia yang jarang mengeluh jika sakit. Sakit hanya dipendam saja, dan baru ketahuan setelah parah dan anda sudah bisa menebak cerita akhirnya. Tidak tertolong. Nah makanya kalau punya rasa sakit atau sesuatu yang tidak beres dengan tubuh kita. Katakana saja, karena dengan demikian kita bisa mengantisipasi dan mengobati lebih dini.
Kemudian terkait dengan imunisasi. Tau berapa dana yang dibutuhkan untuk satu kali imunisasi di tingkat nasional. 3 juta dolar. Imunisasi ini sangat penting sebagai tindakan preventif sekaligus kuratif. Analoginya sama seperti keberadaan ibu dirumah. Biasa saja ketika ada. Tetapi jika tidak ada, maka efeknya akan berakibat fatal dan menjadi ribut serta menjadi perbincangan semua orang. Karena imunisasilah, Indonesia telah terbebas dari polio tahun 2003, cacar tahun 1983, diphtery, dan penyakit berbahaya lainnya. Maka dia menjadi sangat miris ketika melihat ada orang yang dengan terang-terangan menolak imunisasi karena ini program dari amerika. Sungguh sangat tidak logis dan mengenaskan. Padahal ini adalah program murni pemerintah dan membeli vaksinnya pun ialah perusahaan local.
Beliau sangat menekankan betapa pentingnya data dalam mengambil sebuah keputusan. Keputusan tidak boleh didasarkan hanya pada apa yang dilihat dan didengar saja. Harus berdasarkan data. Karena jika salah mengambil keputusan di level tinggi/pemerintahan. Maka segala sumber biaya akan diarahkan ke keputusan tersebut. Dan jika salah sasaran, maka betapa mubadzirnya. Memang tidak semua kebijakan yang dilakukan pemerintah saat ini tidak semua tepat sasaran. Tapi kita harus menilai secara adil bahwa telah terjadi perubahan yang cukup signifikan untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Sehat memang idaman semua orang. Dan semakin baik tingkat kesehatan masyarakat sebuah Negara, maka akan meningkatkan produktifitas dan pendapatan Negara. Dan ini adalah tugas kita bersama. Jika kita mau, pasti aka nada jalan. Dan jika kita mngupayakan dengan serius, maka melihat masyarakat Indonesia yang sehat, bukanlah sekedar impian kosong.